Jakarta – Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia memasuki babak baru dengan hadirnya program perampasan aset bagi koruptor. Program ini digagas sebagai jawaban atas kelemahan sistem penegakan hukum yang selama ini dinilai belum maksimal dalam mengembalikan kerugian negara akibat praktik rasuah.
Selama bertahun-tahun, kasus korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan politik. Hukuman penjara sering kali tidak cukup menimbulkan efek jera karena para koruptor masih bisa menikmati hasil kejahatannya setelah keluar dari balik jeruji. Dari sinilah muncul dorongan kuat agar negara lebih agresif dalam merampas aset hasil tindak pidana korupsi.
Landasan Hukum dan Payung Regulasi
Program perampasan aset bukanlah wacana baru, namun kini pemerintah bersama DPR tengah memperkuat landasan hukumnya melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Aturan ini dirancang agar aparat penegak hukum dapat melakukan penyitaan dan pengelolaan aset yang diduga berasal dari kejahatan, meskipun pelaku belum diputus bersalah secara pidana.
RUU tersebut mengadopsi konsep non-conviction based asset forfeiture, yaitu mekanisme perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan pidana inkrah. Dengan begitu, proses pengembalian aset negara bisa dilakukan lebih cepat dan efektif.
Mekanisme Kerja Program
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum akan menelusuri harta kekayaan tersangka maupun pihak terkait yang tidak sejalan dengan profil pendapatan resmi. Jika terbukti ada indikasi berasal dari tindak pidana korupsi, aset tersebut dapat disita untuk negara melalui putusan pengadilan perdata.
Aset yang berhasil dirampas nantinya akan dikelola oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung atau lembaga terkait lainnya, kemudian dialokasikan kembali untuk pembangunan, pendidikan, serta program kesejahteraan masyarakat.
Harapan Efek Jera
Tujuan utama dari program perampasan aset adalah menciptakan efek jera. Para koruptor tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga tidak lagi dapat menikmati hasil kejahatan mereka. Dengan cara ini, negara berharap budaya “korupsi menguntungkan” bisa dipatahkan.
Selain itu, publik juga menaruh harapan besar bahwa program ini bisa mengembalikan dana triliunan rupiah yang selama ini “parkir” di rekening pribadi maupun aset tidak bergerak para koruptor. Dana tersebut, bila berhasil direbut kembali, berpotensi besar menopang pembangunan nasional tanpa harus membebani utang negara.
Tantangan yang Dihadapi
Meski menjanjikan, implementasi program ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah potensi perlawanan hukum dari pihak tersangka korupsi yang akan memanfaatkan celah regulasi. Selain itu, koordinasi antar-lembaga, mulai dari KPK, Kejaksaan, Kepolisian, hingga PPATK, juga menjadi kunci agar program ini berjalan optimal.
Tidak kalah penting adalah integritas aparat penegak hukum itu sendiri. Program perampasan aset akan sulit berhasil jika oknum penegak hukum justru terlibat dalam praktik suap atau permainan di balik layar.
Dukungan Publik dan Komitmen Politik
Keberhasilan program perampasan aset bagi koruptor juga sangat bergantung pada dukungan publik dan keberanian politik pemerintah. Tanpa adanya komitmen yang kuat dari para pemimpin bangsa, aturan hukum secanggih apa pun bisa kehilangan taringnya.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media diharapkan terus mengawal proses ini agar tidak berhenti sebatas janji atau jargon politik semata. Transparansi dalam pengelolaan aset rampasan juga wajib dijaga agar tidak memunculkan persoalan baru.
Penutup
Program perampasan aset bagi koruptor adalah terobosan penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika dijalankan dengan konsisten dan diawasi secara ketat, kebijakan ini bukan hanya akan mengembalikan kerugian negara, tetapi juga mempertegas pesan bahwa korupsi adalah jalan buntu.
Dengan demikian, perampasan aset bukan sekadar hukuman tambahan, melainkan instrumen strategis untuk memutus rantai korupsi yang telah lama menggerogoti negeri ini.